HUKUM
ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI[1]
Zen Zanibar M.Z.
q Mahkamah
Konstitusi
Ide adanya MK di dunia
dimulai sejak kasus Marbury vs Madison
pada tahun 1803 di Amerika Serikat (AS). Ketika itu MA AS dalam putusannya
menyatakan bahwa MA berfungsi mengjaga Konstitusi
AS. Kasus tersebut bermula dari peristiwa pergantian
Presiden AS pasca Pemilu pada tahun1800. Dalam
Pemilu tersebut untuk masa jabatan kedua John Adam kalah dari pesaingnya Thomas
Jefferson. Sebelum serah terima jabatan Adams
membuat mengangkat sejumlah teman dekatnya dalam jaabtan-jabatan penting,
termasuk John Marshaal yang masih menjabat Secretary of State menjadi Ketua MA.
Teman-teman dekat lain yang juga diangkat dalam jabatan penting lainnya
tercatat Willian Marbury, Denis Ramsy, Robert Townsend Hooe dan William
Harper. Surat-surat pengangkatan
tersebut belum semat diserahkan kepada ybs. Ketika Presiden Jefferson dan James
Madison selaku Secretary of State
mulai bekerja surat-surat tersebut ditahan oleh Madison. Oleh karena itu Marbury dkk
menggugat langsung ke MA yang diketuai oleh John Marshall yang meminta agar MA
memerintahkan pemerintah agar mengeluarkan ’writ
of mandamus’ dalam rangka menyerahkan surat
pengangkatan para penggugat. Terhadap gugatan tersebut John Marshal memutuskan
menyatakan tidak berwenang memerintahkan aparat pemerintah menyerahkan
surat-surat tersebut. Apa yang
diminta penggugat sebagaimana dimaksud Judiciary Act tahun 1789 tidak dapat
dibenarkan, karena ketentuan tersebut bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi Amerika. Pendapat MA ini tidak
berdasarkan Judiciary Act tahun 1789,
melainkan melalui kewenangan yang ditafsirkan dari konstitusi. Inilah
cikal bakal MA sebagai pengawal konstitusi (the
Guardian of the Constitution of the United
State of America) agar ketentuan-ketentuan
konstitus ditaati[2].
q Mengapa
Perlu Mahkamah Konstitusi RI ?
Pembentukan MK dilakukan karena bangsa kita melakukan perubahan UUD 1945[3].
Kalau dicermati perubahan pertama (1999) sampai perubahan keempat UUD 1945, maka
akan disimpulkan bahwa telah terjadi perubahan paradigma dengan diadopsinya prinsip-prinsip
baru ketatanegaraan. Prinsip utama ialah pemisahan kekuasaan dan ‘checks and balances’ sebagai kebalikan sistem
supremasi parlemen (MPR sebagai lembaga tertinggi) yang sebelumnya.
Dalam konsep cheks and balances,
maka sangat dibutuhkan adanya: i. mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan
yang sangat mungkin terjadi antar lembaga-lembaga penyelenggara negara; ii. lembaga
pengawas produk politik dalam sistem demokrasi yang semata-mata mendasarkan
pada prinsip ‘the rule of majority’ (judicial review); iii. lembaga yang sama
diperlukan pula dalam memutus sengketa atas ketetapan lembaga penyelenggara
Pemilu (sengketa perolehan hasil Pemilu); iv. lembaga yang menjamin mekanisme pembubaran
Parpol yang sebelumnya dapat dilakukan oleh pemerintah; v. lembaga yang menjamin
pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Perkara-perakara tersebut sangat erat kaitannya dengan jaminan
terselenggaranya prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam konstitusi.
Itulah sebabnya mengapa UUD 1945 menentukan bahwa MK diberi fungsi berupa
4 kewenangan konstitusional (constitutionally
entrusted powers) [1. menguji UU terhadap UUD; 2. memutuskan sengketa
kewenangan antar lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD; 3. memutuskan
sengketa hasil pemilihan umum; dan 4. memutuskan pembubaran partai politik] dan
satu tugas konstitusional (constitutional
obligation). Sedangkan tugas atau kewajiban ialah memutus pendapat DPR
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah bersalah melakukan pelanggaran
hukum ataupun tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden seperti yang dimaksud dalam UUD 1945.
Lalu apa bedanya MK dengan MA? MA lebih merupakan pengadilan keadilan (court of justice), sedangkan MK lebih
sebagai lembaga pengadilan hukum (court
of law). Memang tidak seratus persen dan mutlak sebagai ‘court of justice’ versus ‘court of law’. MA sendiri masih
melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU, artinya MA masih
menyandang fungsi court of law juga.
Sementara MK juga diberi tugas
memutus dakwaan DPR terhadap Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Dengan kata lain, MA selain fungsi utamanya sebagai court of justice juga melaksanakan fungsi
court of law, demikian juka MK diberi
tugas sebagai ‘court of justice’ selain
fungsi utamanya sebagai ‘court of law’.
Keduanya sama-sama merupakan pelaku kekuasaan kehakiman menurut ketentuan Pasal
24 ayat (2) UUD 1945.
q Wewenang
MK
·
Pengujian
Undang-Undang
Kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang, seperti dikemukakan
adalah kewenangan yang sangat penyting bagi eksistensi warganegara. Kewenangan
pengujian undang-undanga (PUU) adalah paling banyak mendapat sorotan di dunia ilmu
pengetahuan, karena banyak bersentuhan dengan persoalan kwwenangan legislator
yang notabene mewakili lembaga perwakilan rakyat yang sejak dudlu diipilih
langsung dan kewenagan Presiden sebagai lembaga yang mengesahkan RUU yang sudah
disetujui DPR. PUU mempersoalkan konstitusionalis UU sehingga tolok ujinya
adalah UUD.
Pengujian dapat dilakukan secara formil dan materil. Pengujian formil
baik menyangkut dengan prosedur pembentukan maupun pemberlakuan. Pengujian
materiel menyangkut pengujian atas materi UU, mengenai bagian mana dari UU yang
diuji bertentangan dengan ketentuan mana dari UUD. Bagian yang diuji bisa saja hanya
koma, satu kata dalam satu ayat, satu ayat, satu pasal, satu bab, keseluruhan
UU, atau bagian dari penjelasan.
·
Sengketa
Kewenangan antar Lembaga Negara
Pertanyaan yang kerap dimunculkan ialah lembaga mana saja yang mungkin
bersengketa (subjectum litis) dan sengketanya
menjadi obyek perkara (objectum litis)?
Ada kesan
pemahaman tentang lembaga negara masih dipengaruhi oleh pemahaman lama tentang
lembaga tertinggi dan tinggi negara. Persoalan lainnya ialah lembaga yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Apakah lembaga negara dimaksud ialah
lembaga negara yang namanya secara tegas disebut dalam UUD 1945 atau juga
lembaga negara yang disebut secara tegas tetapi kewenangannya secara tersirat,
misalnya kepala daerah dan DPRD?
Jika ditelaah arti kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh UUD maupun
lembaga/organ yang disebutkan secara tegas atau secara tersirat dalam UUD, maka
persengketaan dalam pelaksanaan kewenangannya oleh lembaga/organ tersebut perlu
pengkajian oleh MK selaku lembaga pemutus. Terhadap persoalan demikian MK
berwenang menafsirkannya apakah termasuk yang dimaksudkan Pasal 24C UUD 1945. Dalam perkara sengketa ini, maka pemohon adalah lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap
kewenangan yang dipersengketakan. Sebagaimana permohonan PUU pemohon wajib menguraikan dengan jelas
dalam permohonannya tentang kepentingan langsung pemohon dan menguraikan
kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara
yang menjadi termohon[4].
Karena perkara ini berkaitan dengan
pelaksanaan wewenang, maka MK menyampaikan permohonan yang terregistrasi kepada
termohon paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat[5]. Selanjutnya MK dapat mengeluarkan penetapan yang
memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara
pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan MK[6].
·
Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum
Pemilu bertujuan untuk
memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR,DPD, Presiden dan Wakil
Presiden, dan DPD yang dikuti oleh kontestan: i. pasangan calon presiden/wakil
presiden; ii. Parpol; iii. perorangan calon anggota DPD[7].
Pemilu diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga yang
pada tingkat terakhir menetapkan hasil Pemilu.
Apabila KPU dalam
keputusannya memunculkan perselisihan pendapat antara peserta pemilihan umum
dengan KPU tentang perselisihan perhitungan perolehan suara dan selisih yang
dipersengketakan berpengaruh[8]
terhadap perolehan kursi yang diperebutkan bagi DPD, penentuan pasangan calon
untuk masuk dalam putaran Pilpres kedua dan perolehan suara bagi pasangan calon
Presiden/Wakil Presiden, perolehan kursi Parpol[9],
maka penyelesaiannya melalui proses peradilan di MK.
Pokok persoalan dalam
sengketa hasil perhitungan suara pada intinya kesalahan
hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dibandingkan dengan hasil
penghitungan yang benar menurut pemohon. Selanjutnya tentu saja pemohon meminta
pembatalan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan meminta MK menetapkan
hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon[10]. Supaya permohonan dapat diperiksa oleh MK, maka permohonan
diajukan paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak KPU
mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional[11].
·
Pembubaran
Partai Politik
Kebebasan Parpol dan berpartai adalah cermin kebebasan berserikat yang
dijamin dalam Pasal 28 jo Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, setiap
orang, sesuai ketentuan Undang-Undang bebas mendirikan dan ikut serta dalam
kegiatan partai politik. Oleh karena itu, pembubaran parpol harus dilakukan
oleh lembaga yang diberi wewenang untuk itu. Dengan kata lain pembubaran Parpol
tidak boleh dilakukan oleh lembaga yang dibebani oleh kepentingan lain selain
kepentingan seluruh bangsa. Perlindungan prinsip kebebasan berserikat mestilah disediakan
mekanisme melalui prosedur peradilan konstitusi. Dengan demikian, prinsip
kemerdekaan berserikat yang dijamin dalam UUD tidak dilanggar oleh siapaun
termasuk penguasa yang tidak lain adalah parpol pemenang pemilu (parpol yang
berkuasa). Mekanisme ini sekaligus untuk menghindarkan pemberangusan Parpol
oleh penguasa. Namun demikian permohonan pembubaran Parpol harus dilakukan oleh
pemerintah. Pemrintah dalam hal ini dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara
pemerintahan sehari-hari (eksekutif) yang berkaitan dengan fungsi utamanya
selaku pelaksana UU. Alasan pokok pembubaran Parpol adalah ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai
politik yang bersangkutan, yang dianggap oleh pemohon bertentangan dengan UUD
1945.
MK dalam memutus perkara permohonan
pembubaran Parpol tidak boleh lebih dari 60 hari sejak permohonan diregistrasi. Selain putusan disampaikan kepada Parpol yang bersangkutan, maka putusan harus dilaksanakan dengan pembatalan
pendaftaran Parpol yang bersangkutan pada pemerintah dan selanjutnya dimuat
dalam Berita Negara paling lambat 14 hari sejak putusan diterima[15].
·
Dakwaan
DPR terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dakwaan DPR selaku pemohon
dapat berupa: Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya; atau perbuatan tercela;
dan/atau pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Pesiden.
Meskipun MK memutus pendapat DPR bukanlah berati MK berwenang memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Putusan MK adalah bahan pertimbangan MPR
setelah putusan MK diajukan DPR kepada MPR. Jika MPR berpendapat putusan MK
dapat dijadikan dasar pembenhentian, maka MPR-lah yang menentukan apakah akan
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. MK hanya akan menyatakan bahwa
pendapat DPR adalah benar dan terbukti atau sebaliknya tidak terbukti. Namun
demikian putusan MK bersifat final dan mengikat.
q Beracara di Mahkamah Konstitusi
·
Majelis dan Sidang-sidang Pemeriksaan
Prinsip pertama MK memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno MK dengan 9 (sembilan)
orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang
hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK. Dalam hal Ketua MK berhalangan sidang
pleno dipimpin oleh Wakil Ketua MK. Jika baik ketua maupun wakil ketua
berhalangan sidang pleno dipimpin oleh ketua sementara yang dipilih dari dan
oleh anggota MK.
Sebelum sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1), MK
dapat membentuk panel hakim yang anggotanya terdiri atas sekurang-kurangnya 3
(tiga) orang hakim konstitusi untuk memeriksa yang hasilnya dibahas dalam
sidang pleno untuk diambil putusan. Sidang Panel dilakukan untuk melakukan
pemeriksaan pendahuluan yang dimaksudkan untuk memeriksa syarat-syarat formal
dan materil serta kejelasan segala sesuatunya yang berkaiutan dengan
permohonan. Prinsip penting lainnya putusan MK diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum. Dalam arti tidak diucapkan dalam sidang terbiuka untuk umum berakibat
putusan Mahkamah Konstitusi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum
·
Pengajuan Permohonan
Dalam permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
oleh pemohon atau kuasanya kepada MK yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya
(12 rangkap) Syarat formal: permohonan wajib dibuat dengan uraian yang
jelas mengenai apa yang dimohonkan: a. pengujian UU terhadap UUD 1945; b.
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
c. pembubaran Parpol; d. perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau e. impeachment
(pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945[20].
Seperti pada umumnya permohonan gugatan memuat alasan (posita
dalam gugatan perdata) dan permintaan (tuntutan atau petita dalam gugatan
perdata), maka permohonan sekurang-kurangnya harus memuat: nama dan alamat
pemohon, uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan hal-hal yang
diminta untuk diputus. Permohonan harus pula disertai dengan alat bukti yang
mendukung permohonan[21].
·
Pendaftaran Permohonan dan Sidang
Setiap permohonan yang diajukan lebih dulu diteliti oleh Panitera
MK[22] yang dimaksudkan memeriksa
kelengkapan permohonan. Jika permohonan belum lengkap wajib dilengkapi oleh
pemohon dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pemberitahuan
kekuranglengkapan tersebut diterima pemohon. Sesudah dinyatakan lengkap barulah
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara[23] yang memuat catatan
tentang kelengkapan administrasi serta, nomor perkara, tanggal penerimaan
berkas permohonan, nama pemohon, dan pokok perkara[24].
Jika sudah diregister MK selanjutnya menetapkan hari sidang paling
lambat 14 hari kerja sejak diregister. Hari sidang diberitahukan kepada para
pihak dan dipulikasikan kepada masyarakat pqada papan pengumuman yang khusus
diperuntukan untuk itu[25]. Meskipun sudah diregister dan sudah diperiksa dalam
persidangan abaik sidang panel maupun sidang pleno pemohon tetap berhak menarik
kembali permohonannya. Penarikan permohonan berakibat permohonan yang sama
tidak dapat diajukan kembali[26].
Dalam sidang panel alat bukti dapat diajukan sebagai kelemngkapan
permohonan diperiksa oleh majelis panel. Namun alat bukti yang dalam
persidangan panel belum diajukan bisa saja diajukan pada sidang pleno. Agak
berbeda dengan bukti dalam perkara perdata dan pidana. Dalam persidangan di MK
alat bukti meliputi: a. surat atau tulisan yang dipertanggungjawabkan
per-olehannya secara hukum; b. keterangan saksi; c. keterangan ahli; d.
keterangan para pihak; e. petunjuk; dan f.
alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Sah
tidaknya semua alat bukti ditentukan oleh MK dalam persidangan[27] dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang
satu dengan alat bukti yang lain[28].
Dalam persidangan di MK para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir
memenuhi panggilan MK. Akan tetapi surat panggilan harus
sudah diterima oleh yang dipanggil dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
hari sebelum hari persidangan. Bagi pihak yang merupakan lembaga negara dapat
diwakili oleh pejabat yang ditunjuk atau kuasanya berdasarkan peraturan
perundang-undangan. MK dapat meminta bantuan kepolisian untuk menghadirkan
saksi secara paksa apabila saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun sudah
dipanggil secara patut menurut hukum[29].
·
Pemeriksaan Perkara dalam Persidangan
Sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi
mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Sidang
pemeriksaan pendahuluan ini dilakukan dalam sidang panel (3 hakim). Dalam
pemeriksaan ini MK berkewajiban memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi
dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat
belas) hari[30].
Dalam persidangan pemohon dan juga termohon dapat diwakili oleh
kuasanya berdasarkan surat
kuasa khusus untuk itu[31]. Jika pemohon dan/atau termohon didampingi oleh selain
kuasanya di dalam persidangan haruslah dibuat surat keterangan yang khusus untuk kehadiran
pendamping[32].
Adalah prinsip bahwa sidang MK terbuka untuk umum. Setiap orang
yang hadir dalam persidangan wajib menaati tata tertib persidangan. Pelanggaran
tata tertib persidangan dikualifikasikan sebagai contempt of court[33]. Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim konstitusi berkewajiban
memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau
meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan.
Lembaga negara tersebut wajib menyampaikan
penjelasannya dalam jangka waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permintaan hakim konstitusi sejak permintaan
MK diterima[34].
·
Putusan
MK memutus perkara berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti
dan keyakinan hakim. Untuk putusan yang mengabulkan permohonan harus didasarkan
pada sekurang-kurangnya 2 alat bukti dan wajib memuat fakta yang terungkap
dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan. Semua
putusan diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno (RPH) hakim
konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang. Dalam sidang permusyawaratan (RPH),
setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis (legal
opinion) terhadap permohonan.
Apabila RPH tidak dapat menghasilkan putusan, musyawarah ditunda
sampai musyawarah (RPH) berikutnya. Dalam hal musyawarah setelah diusahakan
dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil
dengan suara terbanyak. Jika musyawarah juga tidak dapat diambil dengan suara
terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan. Putusan
dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain yang harus lebih
diberitahukan kepada para pihak. Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat
pendapat anggota majelis hakim yang berbeda (disenting opinion) dimuat dalam
putusan[36].
Putusan MK tentang PUU dapat berisi: jika pemohon dan/atau permohonan tidak memenuhi syarat, maka
permohonan dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard). Apabila permohonan dinilai beralasan, maka permohonan
dikabulkan. Untuk PUU yang dikabulkan, maka dinyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian dari UU yang bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap PUU, maka putusan PUU
dapat berupa: amar putusan
menyatakan permohonan tidak dapat diterima, jika pemohon dan/atau permohonan
tidak memnuhi syarat. Apabila permohonan
dinilai beralasan, maka permohonan dikabulkan. Dalam hal permohonan dikabulkan,
maka dinyatakan dengan tegas materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU yang bertentangan dengan UUD 1945. Untuk
PUU formil dan ternyata menurut MK pembentukannya tidak memenuhi ketentuan pembentukan
UU berdasarkan UUD 1945, maka amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
Jika UU yang diuji menurut MK tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik mengenai
pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, maka amar putusan
menyatakan permohonan ditolak[37].
Dalam Putusan MK yang amar putusannya menyatakan bahwa materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945,
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian UU tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Demikian pula putusan MK yang amar putusannya menyatakan bahwa
pembentukan UU yang diuji tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945, maka UU tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Khusus putusan MK yang mengabulkan wajib
dimuat dalam Berita negara
dalam jangka waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan[38]. Perlu menjadi catatan bahwa Undang-undang yang diuji oleh
MK tetap berlaku, sebelum ada putusan yang
menyatakan bahwa undang-undang tersebut
bertentangan dengan UUD 1945[39]. Putusan MK tentang PUU disampaikan kepada DPR, DPD,
Presiden, dan MA[40]. Penyampaian ini ada hubungannya dengan fungsi
masing-masing lembaga (legislator selaku pembentuk UU, eksekutif selaku
pelaksana dan yudikatif selaku lembaga yang mengadili pelanggaran UU). Catatan
penting bagi pemohon maupun pihak lain ialah materi muatan ayat, pasal, dan/atau
bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali[41], kecuali dengan alasan yang berbeda.
Putusan dalam sengketa kewenangan antar
lembaga negara dapat berisi:
Pertama, jika pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat, maka amar
putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Apabila permohonan
beralasan, maka amar putusan
menyatakan permohonan dikabulkan. Konsekuensinya MK menyatakan dengan tegas
bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang
dipersengketakan. Oleh karena itu selanjutnya termohon wajib melaksanakan
putusan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
putusan diterima. Apabila putusan mengabulkan tersebut tidak dilaksanakan oleh
termohon dalam jangka waktu tersebiut, pelaksanaan kewenangan termohon batal
demi hukum[42]. Sebaliknya jika permohonan tidak beralasan, amar putusan
menyatakan permohonan ditolak[43].
Putusan
dalam perselisihan hasil Pemilu dapat
berupa: apabila selisih yang dipersengketakan memang berpengaruh
terhadap perolehan kursi bagi Parpol pemohon, hak pemohon (perorangan) terpilih
berdasarkan jumlah peroleh suara, hak
para pemohon (pasangan calon) terppilih sebagai Presiden/Wakil Presiden dan disertai
bukti-bukti yang kuat dan beralasan, maka permohonan dikabulkan dan perolehan
suara yang benar ditetapkan oleh MK. Namun jika permohonan tidak beralasan atau
dalil-dalil yang diajukan tidak terbukti, maka permohonan ditolak. Apabila
tidak memenuhi syarat tentu saja MK akan
menyatakan tidak dapat diterima[44].
Perlu dicatat putusan MK mengenai sengketa perselisihan hasil Pemilu paling
lamabt 14 (empat belas) hari kerja sejak
permohonan dicatat dalam buku registrasi untuk perkara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Untuk sengketa
hasil Pemilu Legislatif paling lambat 30 hari sejak permohonan diregistrasi di
MK[45].
Putusan dalam perkara pembubaran
Parpol, seperti pada permohonan lainnya yang disebut terdahulu. Permohonan pembubaran
Parpol yang tidak memenuhi syarat dinyatakan permohonan tidak dapat diterima.
Apabila beralasan tentu saja MK menyatakan mengabulkan, sebaliknya jika
permohonan tidak beralasan MK menyatakan menolak permohonan[46].
q
Legal Standing PUU
Penting untuk dipahami adalah legal standing (status hukum
pemohon). Pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang, yaitu: a. perorangan
WNI; b. kesatuan masyarakat hukum
adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat;
atau d. lembaga negara.
Selaku pemohon, legal
standing pemohon dapat dicermati pada uraian tentang identitas pribadi dan/atau
lembaga, Parpol, calon anggota DPD dan Capres/Cawapres serta hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya. Seorang WNI yang
mengajukan permohonan PUU dapat segera dipastikan bahwa ybs memiliki legal
standing dengan melampirkan foto copy KTP. Sebuah korporasi, yayasan dan
koprasi dapat dibuktikan dengan akte pendirian, berita negara yang memuat nama
korporasi yang aktanya sudah disahkan oleh lembaga yang berwenang. Bukti
tersebut menunjukkan siapa person yang dapat bertindak mewakili korporasi yang
mungkin dapat dibuktikan dalam berbagai perubahan akta[47]. Lembaga negara tentu saja sangat dikenal, namun pembuktian
tertulis acapkali dibutuhkan untuk pejabat yang mewakili. Kepala daerah,
misalnya mewakili Daerah yang dipimpinnya baik di luar maupun di depan
pengadilan seperti diatur dalam UU Pemda. Akan tetapi perlu juga dibuktikan
dengan SK Presiden, karena bukan tidak mungkin jabatan dalam persoalan,
misalnya diberhentikan sementara oleh Presiden karena tersangka pelaku kasus.
Untuk Parpol meskipun dikenal oleh publik namu tentu saja
dibuktikan dengan bukti terdaftar sebagai
Parpol dan SK KPU sebagai peserta Pemilu. Demikian pula bagi calon anggota DPD,
Capres/Cawapres dibuktikan sebagai Calon Pilpres yang didasarkan pada SK KPU
sebagai pasangan calon resmi.
Hak konstitusional berkaitan dengan legal standing, namun tidak
selalu mudah dielaborasi oleh pemohon, sehingga tidak jarang hak dapat
didentifikasi setelah proses pemeriksaan dalam persidangan berlangsung. Memang
banyak juga hak konstitusional pemohon dapat secara tegas diuraikan oleh
pemohon.
Hak konstitusional adalah
hak yang diatur dalam UUD 1945. Kelihatan mudah dirumuskan dalam permohonan,
namun kesulitan menghubungkan pengalaman dan kebutuhan potensial dengan
ketentuan UUD, misalnya hak-hak warganegara civil rights, seringkali tidak
tepat Pasal UUD yang dilanggar oleh ketentuan dalam UU. Demikian pula
kewenangan lembaga yang diadopsi dari ketentuan tersirat dalam UUD, misalnya
wewenang yang bersumber dari otonomi luas dalam Pasal 18 UUD 1945. Akhirnya kelemahan menyusun hak atau
kewenangan konstitusional dapat melemahkan dalil tentang legal standing.
Palembang, 7 April 2007
[1] Makalah disampaikan
dalam Pendidikan Calon Advokat Kerjasama
AAI Sumsel dengan FH Unsri April-Mei 2007
[2] Jimly Asshiddiqie, Model-model
Pengujian Konstitusional di Bebagai Negara, Cet. I, MKRI, 2006, h. 16-20
[3]Republik Indonesia,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002.
Posting Komentar