kkkkk

Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Sepakbola    Kuliner    Film   
Home » » HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

Posted by Majalah Jhon Bunay on Senin, 17 Oktober 2016






HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI[1]
Zen Zanibar M.Z.

q Mahkamah Konstitusi
Ide adanya MK di dunia dimulai sejak kasus Marbury vs Madison pada tahun 1803 di Amerika Serikat (AS). Ketika itu MA AS dalam putusannya menyatakan bahwa MA berfungsi mengjaga Konstitusi AS. Kasus tersebut bermula dari peristiwa pergantian Presiden AS pasca Pemilu pada tahun1800. Dalam Pemilu tersebut untuk masa jabatan kedua John Adam kalah dari pesaingnya Thomas Jefferson. Sebelum serah terima jabatan Adams membuat mengangkat sejumlah teman dekatnya dalam jaabtan-jabatan penting, termasuk John Marshaal yang masih menjabat Secretary of State menjadi Ketua MA. Teman-teman dekat lain yang juga diangkat dalam jabatan penting lainnya tercatat Willian Marbury, Denis Ramsy, Robert Townsend Hooe dan William Harper.  Surat-surat pengangkatan tersebut belum semat diserahkan kepada ybs. Ketika Presiden Jefferson dan James Madison selaku Secretary of State mulai bekerja surat-surat tersebut ditahan oleh Madison. Oleh karena itu Marbury dkk menggugat langsung ke MA yang diketuai oleh John Marshall yang meminta agar MA memerintahkan pemerintah agar mengeluarkan ’writ of mandamus’ dalam rangka menyerahkan surat pengangkatan para penggugat. Terhadap gugatan tersebut John Marshal memutuskan menyatakan tidak berwenang memerintahkan aparat pemerintah menyerahkan surat-surat tersebut. Apa yang diminta penggugat  sebagaimana dimaksud Judiciary Act tahun 1789 tidak dapat dibenarkan, karena ketentuan tersebut bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi Amerika. Pendapat MA ini tidak berdasarkan Judiciary Act tahun 1789, melainkan melalui kewenangan yang ditafsirkan dari konstitusi. Inilah cikal bakal MA sebagai pengawal konstitusi (the Guardian of the Constitution of the United State of America) agar ketentuan-ketentuan konstitus ditaati[2].     

q Mengapa Perlu Mahkamah Konstitusi RI ?

Pembentukan MK dilakukan karena bangsa kita melakukan perubahan UUD 1945[3]. Kalau dicermati perubahan pertama (1999) sampai perubahan keempat UUD 1945, maka akan disimpulkan bahwa telah terjadi perubahan paradigma dengan diadopsinya prinsip-prinsip baru ketatanegaraan. Prinsip utama ialah pemisahan kekuasaan dan ‘checks and balances’ sebagai kebalikan sistem supremasi parlemen (MPR sebagai lembaga tertinggi) yang sebelumnya.
Dalam konsep cheks and balances, maka sangat dibutuhkan adanya: i. mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan yang sangat mungkin terjadi antar lembaga-lembaga penyelenggara negara; ii. lembaga pengawas produk politik dalam sistem demokrasi yang semata-mata mendasarkan pada prinsip ‘the rule of majority’ (judicial review); iii. lembaga yang sama diperlukan pula dalam memutus sengketa atas ketetapan lembaga penyelenggara Pemilu (sengketa perolehan hasil Pemilu);  iv. lembaga yang menjamin mekanisme pembubaran Parpol yang sebelumnya dapat dilakukan oleh pemerintah; v. lembaga yang menjamin pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Perkara-perakara tersebut sangat erat kaitannya dengan jaminan terselenggaranya prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam konstitusi.
Itulah sebabnya mengapa UUD 1945 menentukan bahwa MK diberi fungsi berupa 4 kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted powers) [1. menguji UU terhadap UUD; 2. memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD; 3. memutuskan sengketa hasil pemilihan umum; dan 4. memutuskan pembubaran partai politik] dan satu tugas konstitusional (constitutional obligation). Sedangkan tugas atau kewajiban ialah memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah bersalah melakukan pelanggaran hukum ataupun tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden seperti yang dimaksud dalam UUD 1945.
Lalu apa bedanya MK dengan MA? MA lebih merupakan pengadilan keadilan (court of justice), sedangkan MK lebih sebagai lembaga pengadilan hukum (court of law). Memang tidak seratus persen dan mutlak sebagai ‘court of justice’ versus ‘court of law’. MA sendiri masih melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU, artinya MA masih menyandang fungsi court of law juga. Sementara    MK juga diberi tugas memutus  dakwaan DPR terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dengan kata lain, MA selain fungsi utamanya sebagai court of justice juga melaksanakan fungsi court of law, demikian juka MK diberi tugas sebagai ‘court of justice’ selain fungsi utamanya sebagai ‘court of law’. Keduanya sama-sama merupakan pelaku kekuasaan kehakiman menurut ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.

q Wewenang MK

·         Pengujian Undang-Undang
Kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang, seperti dikemukakan adalah kewenangan yang sangat penyting bagi eksistensi warganegara. Kewenangan pengujian undang-undanga (PUU) adalah  paling banyak mendapat sorotan di dunia ilmu pengetahuan, karena banyak bersentuhan dengan persoalan kwwenangan legislator yang notabene mewakili lembaga perwakilan rakyat yang sejak dudlu diipilih langsung dan kewenagan Presiden sebagai lembaga yang mengesahkan RUU yang sudah disetujui DPR. PUU mempersoalkan konstitusionalis UU sehingga tolok ujinya adalah UUD.
Pengujian dapat dilakukan secara formil dan materil. Pengujian formil baik menyangkut dengan prosedur pembentukan maupun pemberlakuan. Pengujian materiel menyangkut pengujian atas materi UU, mengenai bagian mana dari UU yang diuji bertentangan dengan ketentuan mana dari UUD. Bagian yang diuji bisa saja hanya koma, satu kata dalam satu ayat, satu ayat, satu pasal, satu bab, keseluruhan UU, atau bagian dari penjelasan.

·         Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara
Pertanyaan yang kerap dimunculkan ialah lembaga mana saja yang mungkin bersengketa (subjectum litis) dan sengketanya menjadi obyek perkara (objectum litis)? Ada kesan pemahaman tentang lembaga negara masih dipengaruhi oleh pemahaman lama tentang lembaga tertinggi dan tinggi negara. Persoalan lainnya ialah lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Apakah lembaga negara dimaksud ialah lembaga negara yang namanya secara tegas disebut dalam UUD 1945 atau juga lembaga negara yang disebut secara tegas tetapi kewenangannya secara tersirat, misalnya kepala daerah dan DPRD?
Jika ditelaah arti kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh UUD maupun lembaga/organ yang disebutkan secara tegas atau secara tersirat dalam UUD, maka persengketaan dalam pelaksanaan kewenangannya oleh lembaga/organ tersebut perlu pengkajian oleh MK selaku lembaga pemutus. Terhadap persoalan demikian MK berwenang menafsirkannya apakah termasuk yang dimaksudkan Pasal 24C UUD 1945. Dalam perkara sengketa ini, maka  pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Sebagaimana permohonan  PUU pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi termohon[4].
Karena perkara ini berkaitan dengan pelaksanaan wewenang, maka MK menyampaikan permohonan yang terregistrasi kepada termohon paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat[5]. Selanjutnya MK dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan MK[6].

·         Perselisihan Hasil Pemilihan Umum

Pemilu bertujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR,DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPD yang dikuti oleh kontestan: i. pasangan calon presiden/wakil presiden; ii. Parpol; iii. perorangan calon anggota DPD[7]. Pemilu diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga yang pada tingkat terakhir menetapkan hasil Pemilu.
Apabila KPU dalam keputusannya memunculkan perselisihan pendapat antara peserta pemilihan umum dengan KPU tentang perselisihan perhitungan perolehan suara dan selisih yang dipersengketakan berpengaruh[8] terhadap perolehan kursi yang diperebutkan bagi DPD, penentuan pasangan calon untuk masuk dalam putaran Pilpres kedua dan perolehan suara bagi pasangan calon Presiden/Wakil Presiden, perolehan kursi Parpol[9], maka penyelesaiannya melalui proses peradilan di MK.
Pokok persoalan dalam sengketa hasil perhitungan suara pada intinya kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dibandingkan dengan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon. Selanjutnya tentu saja pemohon meminta pembatalan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan meminta MK menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon[10]. Supaya permohonan dapat diperiksa oleh MK, maka permohonan diajukan paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak KPU mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional[11].

·         Pembubaran Partai Politik
Kebebasan Parpol dan berpartai adalah cermin kebebasan berserikat yang dijamin dalam Pasal 28 jo Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, setiap orang, sesuai ketentuan Undang-Undang bebas mendirikan dan ikut serta dalam kegiatan partai politik. Oleh karena itu, pembubaran parpol harus dilakukan oleh lembaga yang diberi wewenang untuk itu. Dengan kata lain pembubaran Parpol tidak boleh dilakukan oleh lembaga yang dibebani oleh kepentingan lain selain kepentingan seluruh bangsa. Perlindungan prinsip kebebasan berserikat mestilah disediakan mekanisme melalui prosedur peradilan konstitusi. Dengan demikian, prinsip kemerdekaan berserikat yang dijamin dalam UUD tidak dilanggar oleh siapaun termasuk penguasa yang tidak lain adalah parpol pemenang pemilu (parpol yang berkuasa). Mekanisme ini sekaligus untuk menghindarkan pemberangusan Parpol oleh penguasa. Namun demikian permohonan pembubaran Parpol harus dilakukan oleh pemerintah. Pemrintah dalam hal ini dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara pemerintahan sehari-hari (eksekutif) yang berkaitan dengan fungsi utamanya selaku pelaksana UU. Alasan pokok pembubaran Parpol adalah ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang dianggap oleh pemohon bertentangan dengan UUD 1945.
MK dalam memutus perkara permohonan pembubaran Parpol tidak boleh lebih dari 60 hari sejak permohonan diregistrasi. Selain putusan disampaikan kepada Parpol yang  bersangkutan, maka putusan harus dilaksanakan dengan pembatalan pendaftaran Parpol yang bersangkutan pada pemerintah dan selanjutnya dimuat dalam Berita Negara paling lambat 14 hari sejak putusan diterima[15].

·         Dakwaan DPR terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dakwaan DPR selaku pemohon dapat berupa: Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum  berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya; atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Pesiden. Meskipun MK memutus pendapat DPR bukanlah berati MK berwenang memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Putusan MK adalah bahan pertimbangan MPR setelah putusan MK diajukan DPR kepada MPR. Jika MPR berpendapat putusan MK dapat dijadikan dasar pembenhentian, maka MPR-lah yang menentukan apakah akan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. MK hanya akan menyatakan bahwa pendapat DPR adalah benar dan terbukti atau sebaliknya tidak terbukti. Namun demikian putusan MK bersifat final dan mengikat.
q Beracara di Mahkamah Konstitusi
·         Majelis dan Sidang-sidang Pemeriksaan
Prinsip pertama MK memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno MK dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK. Dalam hal Ketua MK berhalangan sidang pleno dipimpin oleh Wakil Ketua MK. Jika baik ketua maupun wakil ketua berhalangan sidang pleno dipimpin oleh ketua sementara yang dipilih dari dan oleh anggota MK.
Sebelum sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1), MK dapat membentuk panel hakim yang anggotanya terdiri atas sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk memeriksa yang hasilnya dibahas dalam sidang pleno untuk diambil putusan. Sidang Panel dilakukan untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan yang dimaksudkan untuk memeriksa syarat-syarat formal dan materil serta kejelasan segala sesuatunya yang berkaiutan dengan permohonan. Prinsip penting lainnya putusan MK diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Dalam arti tidak diucapkan dalam sidang terbiuka untuk umum berakibat putusan Mahkamah Konstitusi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum

·         Pengajuan Permohonan
Dalam permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya kepada MK yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya (12 rangkap) Syarat formal: permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai apa yang dimohonkan: a. pengujian UU terhadap UUD 1945; b. sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; c. pembubaran Parpol; d. perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau e. impeachment (pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945[20].
Seperti pada umumnya permohonan gugatan memuat alasan (posita dalam gugatan perdata) dan permintaan (tuntutan atau petita dalam gugatan perdata), maka permohonan sekurang-kurangnya harus memuat: nama dan alamat pemohon, uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan hal-hal yang diminta untuk diputus. Permohonan harus pula disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan[21].

·         Pendaftaran Permohonan dan Sidang

Setiap permohonan yang diajukan lebih dulu diteliti oleh Panitera MK[22]  yang dimaksudkan memeriksa kelengkapan permohonan. Jika permohonan belum lengkap wajib dilengkapi oleh pemohon dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima pemohon. Sesudah dinyatakan lengkap barulah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara[23]  yang memuat catatan tentang kelengkapan administrasi serta, nomor perkara, tanggal penerimaan berkas permohonan, nama pemohon, dan pokok perkara[24].
Jika sudah diregister MK selanjutnya menetapkan hari sidang paling lambat 14 hari kerja sejak diregister. Hari sidang diberitahukan kepada para pihak dan dipulikasikan kepada masyarakat pqada papan pengumuman yang khusus diperuntukan untuk itu[25]. Meskipun sudah diregister dan sudah diperiksa dalam persidangan abaik sidang panel maupun sidang pleno pemohon tetap berhak menarik kembali permohonannya. Penarikan permohonan berakibat permohonan yang sama tidak dapat diajukan kembali[26].
Dalam sidang panel alat bukti dapat diajukan sebagai kelemngkapan permohonan diperiksa oleh majelis panel. Namun alat bukti yang dalam persidangan panel belum diajukan bisa saja diajukan pada sidang pleno. Agak berbeda dengan bukti dalam perkara perdata dan pidana. Dalam persidangan di MK alat bukti  meliputi: a. surat atau tulisan yang dipertanggungjawabkan per-olehannya secara hukum; b. keterangan saksi; c. keterangan ahli; d. keterangan para pihak; e. petunjuk; dan  f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Sah tidaknya semua alat bukti ditentukan oleh MK dalam persidangan[27] dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain[28].
Dalam persidangan di MK para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan MK.  Akan tetapi surat panggilan harus sudah diterima oleh yang dipanggil dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan. Bagi pihak yang merupakan lembaga negara dapat diwakili oleh pejabat yang ditunjuk atau kuasanya berdasarkan peraturan perundang-undangan. MK dapat meminta bantuan kepolisian untuk menghadirkan saksi secara paksa apabila saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun sudah dipanggil secara patut menurut hukum[29].

·         Pemeriksaan Perkara dalam Persidangan
Sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Sidang pemeriksaan pendahuluan ini dilakukan dalam sidang panel (3 hakim). Dalam pemeriksaan ini MK berkewajiban memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari[30].
Dalam persidangan pemohon dan juga termohon dapat diwakili oleh kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu[31]. Jika pemohon dan/atau termohon didampingi oleh selain kuasanya di dalam persidangan haruslah dibuat surat keterangan yang khusus untuk kehadiran pendamping[32].
Adalah prinsip bahwa sidang MK terbuka untuk umum. Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menaati tata tertib persidangan. Pelanggaran tata tertib persidangan dikualifikasikan sebagai contempt of court[33]. Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim konstitusi berkewajiban memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan. Lembaga negara tersebut wajib menyampaikan
penjelasannya dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permintaan hakim konstitusi sejak permintaan MK diterima[34].
Demikian juga saksi dan ahli yang dipanggil wajib hadir untuk memberikan keterangan[35].

·         Putusan
MK memutus perkara berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim. Untuk putusan yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 alat bukti dan wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan. Semua putusan diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno (RPH) hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang. Dalam sidang permusyawaratan (RPH), setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis (legal opinion) terhadap permohonan.
Apabila RPH tidak dapat menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai musyawarah (RPH) berikutnya. Dalam hal musyawarah setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak. Jika musyawarah juga tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan. Putusan dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain yang harus lebih diberitahukan kepada para pihak. Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat pendapat anggota majelis hakim yang berbeda (disenting opinion) dimuat dalam putusan[36].
Putusan MK tentang PUU dapat  berisi: jika pemohon dan/atau permohonan tidak memenuhi syarat, maka permohonan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Apabila permohonan dinilai beralasan, maka permohonan dikabulkan. Untuk PUU yang dikabulkan, maka dinyatakan   dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU yang bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap PUU, maka  putusan PUU dapat berupa: amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima, jika pemohon dan/atau permohonan tidak memnuhi syarat.  Apabila permohonan dinilai beralasan, maka permohonan dikabulkan. Dalam hal permohonan dikabulkan, maka dinyatakan   dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU yang bertentangan dengan UUD 1945. Untuk PUU formil dan ternyata menurut MK pembentukannya tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945, maka amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Jika UU yang diuji menurut MK tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, maka amar putusan menyatakan permohonan ditolak[37].
Dalam Putusan MK yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Demikian pula putusan MK yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan UU yang diuji tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU  berdasarkan UUD 1945, maka UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Khusus putusan MK yang mengabulkan wajib dimuat dalam Berita negara
dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan[38]. Perlu menjadi catatan bahwa Undang-undang yang diuji oleh MK tetap berlaku, sebelum ada putusan yang
menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan  UUD 1945[39]. Putusan MK tentang PUU disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan MA[40]. Penyampaian ini ada hubungannya dengan fungsi masing-masing lembaga (legislator selaku pembentuk UU, eksekutif selaku pelaksana dan yudikatif selaku lembaga yang mengadili pelanggaran UU). Catatan penting bagi pemohon maupun pihak lain ialah materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali[41], kecuali dengan alasan yang berbeda.
 Putusan dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara  dapat berisi: Pertama, jika pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat, maka amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Apabila permohonan beralasan, maka amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Konsekuensinya MK menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan. Oleh karena itu selanjutnya termohon wajib melaksanakan putusan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diterima. Apabila putusan mengabulkan tersebut tidak dilaksanakan oleh termohon dalam jangka waktu tersebiut, pelaksanaan kewenangan termohon batal demi hukum[42]. Sebaliknya jika permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak[43].
Putusan dalam perselisihan hasil Pemilu dapat berupa: apabila selisih yang dipersengketakan memang berpengaruh terhadap perolehan kursi bagi Parpol pemohon, hak pemohon (perorangan) terpilih berdasarkan jumlah peroleh suara,  hak para pemohon (pasangan calon) terppilih sebagai Presiden/Wakil Presiden dan disertai bukti-bukti yang kuat dan beralasan, maka permohonan dikabulkan dan perolehan suara yang benar ditetapkan oleh MK. Namun jika permohonan tidak beralasan atau dalil-dalil yang diajukan tidak terbukti, maka permohonan ditolak. Apabila tidak memenuhi syarat tentu  saja MK akan menyatakan tidak dapat diterima[44]. Perlu dicatat putusan MK mengenai sengketa perselisihan hasil Pemilu paling lamabt 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi untuk perkara Pemilu  Presiden dan Wakil Presiden. Untuk sengketa hasil Pemilu Legislatif paling lambat 30 hari sejak permohonan diregistrasi di MK[45].
Putusan dalam perkara pembubaran Parpol, seperti pada permohonan lainnya yang disebut terdahulu. Permohonan pembubaran Parpol yang tidak memenuhi syarat dinyatakan permohonan tidak dapat diterima. Apabila beralasan tentu saja MK menyatakan mengabulkan, sebaliknya jika permohonan tidak beralasan MK menyatakan menolak permohonan[46].
q  Legal Standing PUU
Penting untuk dipahami adalah legal standing (status hukum pemohon). Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan WNI; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.
Selaku pemohon, legal standing pemohon dapat dicermati pada uraian tentang identitas pribadi dan/atau lembaga, Parpol, calon anggota DPD dan Capres/Cawapres serta hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya.  Seorang WNI yang mengajukan permohonan PUU dapat segera dipastikan bahwa ybs memiliki legal standing dengan melampirkan foto copy KTP. Sebuah korporasi, yayasan dan koprasi dapat dibuktikan dengan akte pendirian, berita negara yang memuat nama korporasi yang aktanya sudah disahkan oleh lembaga yang berwenang. Bukti tersebut menunjukkan siapa person yang dapat bertindak mewakili korporasi yang mungkin dapat dibuktikan dalam berbagai perubahan akta[47]. Lembaga negara tentu saja sangat dikenal, namun pembuktian tertulis acapkali dibutuhkan untuk pejabat yang mewakili. Kepala daerah, misalnya mewakili Daerah yang dipimpinnya baik di luar maupun di depan pengadilan seperti diatur dalam UU Pemda. Akan tetapi perlu juga dibuktikan dengan SK Presiden, karena bukan tidak mungkin jabatan dalam persoalan, misalnya diberhentikan sementara oleh Presiden karena tersangka pelaku kasus.
Untuk Parpol meskipun dikenal oleh publik namu tentu saja dibuktikan dengan bukti terdaftar  sebagai Parpol dan SK KPU sebagai peserta Pemilu. Demikian pula bagi calon anggota DPD, Capres/Cawapres dibuktikan sebagai Calon Pilpres yang didasarkan pada SK KPU sebagai pasangan calon resmi.
Hak konstitusional berkaitan dengan legal standing, namun tidak selalu mudah dielaborasi oleh pemohon, sehingga tidak jarang hak dapat didentifikasi setelah proses pemeriksaan dalam persidangan berlangsung. Memang banyak juga hak konstitusional pemohon dapat secara tegas diuraikan oleh pemohon.
 Hak konstitusional adalah hak yang diatur dalam UUD 1945. Kelihatan mudah dirumuskan dalam permohonan, namun kesulitan menghubungkan pengalaman dan kebutuhan potensial dengan ketentuan UUD, misalnya hak-hak warganegara civil rights, seringkali tidak tepat Pasal UUD yang dilanggar oleh ketentuan dalam UU. Demikian pula kewenangan lembaga yang diadopsi dari ketentuan tersirat dalam UUD, misalnya wewenang yang bersumber dari otonomi luas dalam Pasal 18 UUD 1945.  Akhirnya kelemahan menyusun hak atau kewenangan konstitusional dapat melemahkan dalil tentang legal standing.

Palembang, 7 April 2007



[1] Makalah disampaikan dalam Pendidikan Calon  Advokat Kerjasama AAI Sumsel dengan FH Unsri April-Mei 2007
[2] Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Bebagai Negara, Cet. I, MKRI, 2006, h. 16-20
[3]Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002.

SHARE :
CB Blogger

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Majalah Jhon Bunay. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by Creating Website and CB Blogger